Terjadi keajaiban di Kota tercinta, dalam kurun waktu tidak sampai satu tahun pada 2008 lalu bermunculan SPBU di sudut-sudut Kota, bahkan dengan jarak antar SPBU berdekatan. SPBU di Jl.Brigjen Sudiarto berjarak hampir 500 meter dari SPBU Jl. Osamaliki dan berjarak kurang lebih 700 meter dari SPBU Pasar Sapi. Apakah tidak syarat khusus dari Pertamina dalam pendirian SPBU, ataukah Pertamina sengaja mengabaikan regulasi di daerah demi orientasi bisnis?
Tercatat telah ada 3 SPBU baru di Salatiga, yang pertama di SPBU Jetis, Kedua SPBU Jl. Brigjen Sudiarto dan yang
under construction SPBU Jl. Patimura. Berarti total di Kota Salatiga dengan luas 5678.11 Km2 telah ada 7 SPBU. Apakah ini sebanding? memang Kota Salatiga merupakan Pusat Kegiatan Wilayah yang melayani wilayah
hinterland dibutuhkan fasilitas pendukung, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga transportasi. Tetapi apakah harus mengorbankan tata ruang kota.
Bahkan bangunan kolonial yang seharusnya dilindungi berubah menjadi SPBU dalam sekejap seperti di di Jl.Brigjen Sudiarto dan Jl. Patimura.
Rumah jaman Kolonial di Jl. Brigjen Sudiarto Sebelum dirobohkan
Sesudah dirobohkan
Sekarang menjadi SPBU
Fungsi campuran dalam rencana tata ruang telah banyak menjebak pembuat kebijakan dalam memberikan ijin bagi investor, disatu sisi harus perpihak pada investasi tetapi disisi lain harus mempertimbangkan faktor sosial dan lingkungan hidup. Inilah esensi
Sustainable Development atau pembangunan berkelanjutan. Ataukah Fungsi Campuran sengaja diciptakan untuk hal-hal seperti ini? tidak jelasnya fungsi campuran antara pemukiman dan perdagangan jasa, sementara SPBU oleh beberapa kalangan dimasukkan dalam perdagangan jasa. Padahal SPBU berpotensi polutan dan membahayakan lingkungan.
Mumpung RTRW kita sedang direvisi dan akan diajukan raperdanya, alangkah baiknya fungsi campuran dalam rencana tata ruang yang baru diperjelas dan didefinisikan. Bukan berarti fungsi campuran di satu bagian kota sama dengan bagian kota yang lain, tiap bagian kota memiliki karakter yang berbeda dan yang mendominasi. Sehingga fasilitas pendukung seperti SPBU tidak bisa seenaknya asal taruh, banyak kajian yang harus melatarbelakanginya.
Seandainya Kota ini sudah ada
Zoning Regulation nya yang sudah jelas peruntukan fungsinya detail tiap blok, tidak akan terjadi SPBU ditengah pemukiman seperti sekarang ini. Pembuat kebijakan akan takut kena denda ratusan hingga miliaran rupiah karena mengijinkan SPBU ini karena menyalahi tata ruang seperti dalam UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ternyata yang terjadi di Kota kita ini, investasi telah menjadi pemenang, dengan dalih meningkatkan perekonomian mengalahkan kepentingan lingkungan yang lebih luas. Berbagai argumen menolak SPBU telah dipatahkan kalau bicara soal peningkatan ekonomi. ekonomi yang mana? ekonomi siapa?